Rabu, 01 Mei 2013

pendayagunaan jerami bagi peningkatan produksi padi



Pendayagunaan Jerami bagi peningkatan produksi Padi
Oleh: Nasikah. SP

Petani sering mengeluhkan penurunan produksi dari tahun ke tahun. Banyak yang berpikir karena kurangnya asupan makanan yang menjadikan hal tersebut, sehingga kebanyakan petani semakin meningkatkan pemberian pupuk anorganik pada lahan pertaniannya. Bayangkan saja, jika petani menggunakan pupuk urea kurang lebih 400 – 500 kg per hektarnya, sedangkan penggunaan urea yang disarankan hanya berkisar antara 250-300 kg perhektar, itu berarti petani melakukan penambahan pemakaian hampir 100% dari yang dianjurkan oleh BPTP Prop. Sulawesi Tengah.
Ketergantungan penggunaan pupuk anorganik serta kurangnya pengetahuan, yang menjadikan hal tersebut semakin parah. Hal tersebut memicu banyaknya peneliti melakukan riset tentang penanggulangan ketergantungan penggunaan pupuk tersebut dengan cara yang mudah dan murah, salah satunya dengan mengembalikan jerami sisa  pemanenan ke lahan persawahan. Hal ini didasari oleh hasil penelitian yang menggambarkan bahwa banyak unsur hara yang terbuang percuma jika jerami tersebut tidak dikembalikan ke lahan persawahan.
Kebiasaan petani melakukan pembakaran jerami sesudah panen juga membuat tingkat kejenuhan tanah menjadi lebih parah. Hal ini juga yang memicu terjadinya perubahan iklim. Why ? karena pembuangan CO2 yang berlebih ke udara akibat pembakaran jerami memicu peningkatan efek rumah kaca. Jadi jangan heran jika sekarang Sulawesi Tengah, khususnya Kab. Sigi yang merupakan salah satu penghasil beras terbesar di Sulawesi Tengah mendapat peringatan WASPADA dampak perubahan iklim.
Saat ini banyak petani yang mengeluhkan gagal panen akibat perubahan musim yang tdk menentu. Sekarang pun banyak bermunculan hama-hama yang baru ditemui, yang dulunya hanya ada di Pulau Jawa, sekarang hama tersebut bisa juga berkembang didaerah yang minim hujan seperti Sulawesi Tengah ini. Jadi bersiaplah menghadapi hal yang lebih parah lagi, jika perlakuan-perlakuan negative yang sering petani terapkan, tidak dicegah mulai dari sekarang.
Menurut penelitian, ketika kita memanen padi 5 ton gabah kering dari 1 ha sawah maka kita telah kehilangan unsur hara 150 kg N, 20 Kg P, 150 Kg K dan 20 Kg S yang terbawa oleh hasil panen kita. Dari hasil panen 5 ton gabah kering tersebut biasanya akan menghasilkan 7,5 ton jerami. Di Indonesia rata-rata kandungan unsur hara yang terkandung dalam jerami adalah 0,4 % N, 0,02 % P, 1,4 % K dan 5,6 % Si. Dan yang perlu diketahui adalah ketika kita memanen padi 5 ton/ha akan menghasilkan jerami sebanyak 7,5 ton yang mengandung 45 kg N, 10 Kg P, 125 Kg K, 10 Kg S, 350 Kg Si, 30 Kg Ca 10 Kg Mg.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka petani dapat mengurangi biaya produksinya sekitar Rp. 900.000, jika kandungan unsure hara tersebut diaplikasikan pada penggunaan pupuk anorganik seperti Urea, SP36 dan KCl.
Jadi, apa yang membuat petani enggan melakukan hal tersebut ?.  Petani pada umumnya melakukan pengolahan lahan dengan rentan waktu penanaman yang sangat pendek, mereka dapat melakukan pengolahan lahan persawahan selama kurang lebih 1 minggu dan melakukan pindah tanam sehari sesudahnya, sehingga pengaplikasian pengembalian jerami ke lahan persawahan sangat sulit dilakukan. Kendala yang lain adalah masih minimnya pengetahuan petani dalam pengaplikasian pengembalian jerami pada lahan persawahan, serta waktu pengolahan yang cukup memakan waktu dan tenaga, karena proses pengomposan biasanya dilakukan dengan cara membolak balik bahan komposan untuk membantu mempercepat proses pengomposan, selain itu jika bahan komposan terdiri dari jerami padi dan activator seperti EM4 saja, masih perlu dilakukan pencacahan jerami, untuk mempermudah pembusukannya. Hal inilah yang membuat Petani lebih tertarik pada cara peningkatan produksi yang lebih mudah, meskipun dampak jangka panjang yang dihasilkan sangatlah merugikan.
Tapi sekarang, cara pengomposan tersebut bisa dikatakan teknologi jadul alias teknologi jaman dahulu. Karena sekarang telah ditemukan activator yang lebih mudah digunakan dan tanpa pencacahan terlebih dahulu. Activator tersebut di teliti dan dikembangkan oleh para peneliti di Institut Pertanian Bogor, yang sekarang lebih dikenal dengan nama PROMI. Meskipun activator tersebut belum beredar luas dipasaran, tapi inilah salah satu pengembangan dan inovasi teknologi yang dapat mempermudah petani dalam melakukan pengomposan jerami. Hanya dengan menggenangi lahan pertanian yang telah diberikan jerami, lalu disemprotkan aktivator, dan dibiarkan selama kurang lebih 3-4 minggu, maka petani sudah dapat menggunakan lahan pertaniannya dengan lebih bijak dan lebih menguntungkan.
Penggunaan pupuk organik dari hasil pengolahan jerami ini akan berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah, karena selain menambah unsur hara didalam tanah, juga akan mempermudah dalam pengolahan lahan persawahan.
Luar biasa bukan ? hanya dengan mengembalikan jerami ke lahan pertanian, petani sudah dapat memangkas penggunaan pupuk anorganik yang semakin hari semakin langka dan semakin mahal, selain itu dapat membantu kelestarian lingkungan. Jadi, mengapa harus membakar jerami, kalau pengembalian jerami jauh lebih menguntungkan.

2 komentar:

  1. KEMENTRIAN PERTANIAN SANGAT MENGHARAPKAN BP3K GUMBASA DAPAT MENGHASILKAN PENYULUH PERTANIAN CERDAS DAN BERKUALITAS YANG MENGERTI TENTANG PERKEMBANGAN DUNIA INTERNET AGAR DAPAT MENGAKSES INFORMASI TENTANG DUNIA PERTANIAN,SEMOGA KEDEPAN BP3K GUMBASA DAPAT MENJADI CONTOH UNTUK BP3K YANG BERADA DI WILAYAH SULAWESI-TENGAH.

    BalasHapus
  2. terimah kasih atas dukungannya pak kami akan berusaha memperbaiki kinerja penyuluh pertanian perikanan dan kehutanan.

    BalasHapus